background img

The New Stuff

Penggunaan Upaya Paksa, Diskresi Kepolisian pada Tersangka Terorisme

DEDI PRASETYO
Asas rasionalitas dapat menjadi parameter untuk menentukan ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam diskresi saat tahap penangkapan. Pada penangkapan tersangka tindak pidana terorisme, tingkat pemahaman terkait ketentuan hukum, moralitas dan SOP (Standar Operasional Prosedur) menjadi acuan untuk menegakkan keadilan. Beberapa pasal pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 menjadi dasar hukum bagi anggota Polri untuk melakukan tindakan diskresi kepolisian sesuai tugas pokok dan wewenangnya. Hal ini dibahas saat ujian terbuka disertasi Promovendus Dedi Prasetyo yang mengangkat judul "Formulasi Kebijakan Eksekutif Penggunaan Upaya Paksa Sebagai Bentuk Diskresi Kepolisian pada Tahap Penangkapan Tersangka Tindak Pidana Terorisme". Ujian terbuka ini dilangsungkan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH-UB) pada Sabtu (16/2).
Dedi menyampaikan, beberapa pasal dalam Peraturan Kapolri Perkap Nomor 1 Tahun 2009 masih banyak yang multitafsir dan belum terukur secara jelas, sehingga rentan penyalahgunaan kewenangan saat diterapkan di lapangan. Istilah seperti "menghentikan" menurutnya dapat diartikan penggunaan kekuatan dapat dilakukan bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindari berdasar situasi yang dihadapi untuk menghentikan tindakan tersangka. Berdasar Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata menghentikan dapat diartikan mengakhiri, menyudahi, membuat (menyebabkan) berhenti (henti artinya keadaan tanpa gerak).
Istilah menghentikan  dalam Perkap, dapat ditafsirkan petugas Polri sebagai kewenangan untuk dapat langsung menembakkan senjata apinya kepada tubuh tersangka agar betul-betul dihentikan atau dimatikan. Utamanya ketika menghadapi situasi yang dinilai membahayakan keselamatan petugas atau masyarakat disekitarnya.
Hal ini berbeda dengan aturan penggunaan senjata api di beberapa negara atau aturan internasional yang menggunakan kata "melumpuhkan pelaku kejahatan". Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata melumpuhkan berarti menyebabkan lumpuh (tidak bertenaga), tidak dapat berjalan, berfungsi lagi. Oleh petugas polisi, kata ini ditafsirkan menembak untuk melumpuhkan dengan sasaran pinggang ke bawah atau sasaran kaki pelaku kejahatan.
Dalam praktek penegakan hukum terkait penangkapan terorisme, telah terjadi penyalahgunaan wewenang apabila tidak didasari asas rasionalitas dan tingkat pemahaman serta penerapan norma hukum yang benar. Semuanya, menurut Dedi akan berpengaruh dalam proses penegakan hukum yang tidak dapat dipertanggungjawabkan terkait moralitas dan akuntabilitas. Pemberian diskresi Kepolisian pada tahap penangkapan tersangka terorisme, kata dia, disesuaikan dengan tingkat ancaman dari pelaku teorisme itu sendiri. Dalam pelaksanaannya, hal ini tergantung pada penilaian subyektif dari pihak Kepolisian.
Pengawasan diskresi ini menurutnya dimungkinkan dilakukan secara vertikal, melalui pengawasan dari satuan atas terhadap satuan yang lebih rendah, secara struktural dan fungsional. Maupun secara horizontal oleh lembaga lain dan atau masyarakat melalui pra peradilan atau gugatan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang diskresi Kepolisian.
Diantara rekomendasi penelitian ini, Dedi menandaskan perlunya formulasi kebijakan eksekutif sebagai Prosedur Tetap yang jelas, tegas dan terukur. Tujuannya agar setiap penggunaan kekuatan dalam tindakan Kepolisian, khususnya senjata api oleh aparat penegak hukum, khususnya Densus 88 dapat dipertanggungjawabkan.
Setelah mempertahankan disertasi dihadapan majelis penguji, Dedi Prasetyo dinyatakan layak menyandang Gelar Doktor dengan predikat Cumlaude (IPK 3.98). Masa studi yang ditempuh adalah 3 tahun 6 bulan. Diantara majelis penguji yang terlibat dalam ujian terbuka ini: Prof. Dr. I. Nyoman Nurjaya, SH, MH (promotor), Prof. Dr. Koesno Adi, SH, MS (Ko-promotor I) dan Dr. Prija Djatmika, SH, MS (Ko-promotor II). [nok]

SELAMAT & SUKSES

Dr. Drs. DEDI PRASETYO, S.H., M.Hum., M.Si.
KARO SDM POLDA KALTENG


dikutip dari : Prasetya.ub.ac.id tanggal 20 Feb 2013

Popular Posts